Perjuangan Mgr. Albertus Sugiyapranata S.J.
Biografi Mgr. Albertus Sugiyapranata S.J.
Biografi Mgr. Albertus Sugiyapranata S.J. | |
---|---|
Lahir | Surakarta, 25 November 1896 |
Meninggal | Steyl, Belanda, 22 Juli 1963 |
Gelar | Pahlawan Kemerdekaan Nasional |
Dasar Penetapan | Keppres No. 152 Tahun 1963 |
Tanggal Penetapan | 26 Juli 1963 |
Pendiri Gereja Katolik Indonesia
Meski mendapat pendidikan Barat dan beberapa kali menimba ilmu di Eropa, bukan berarti harus menerapkannya secara zakelijk.Malah sebaliknya, Mgr. Albertus Sugiyapranata adalah imam Katolik pertama yang berani menghilangkan sifat kebarat-baratan dalam upacara gereja di Indonesia.
Ia pemula perubahan dengan maksud menyerasikan tradisi Barat dan tradisi Timur. Untuk gereja-gereja di Jawa, instrumen barat digantinya dengan gamelan.
Pendidikan Sugiyapranata
Lahir di Solo pada 25 November 1896, Sugiyapranata menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Katolik Solo, kemudian di Muntilan.Sesudah itu, di tahun 1915, ia melanjutkan ke Sekolah Guru. Sempat menjadi guru selama satu tahun, ia kembali memperdalam ilmu teologinya dengan mengikuti pendidikan imamat, dari sinilah kegiatan di bidang keagamaan dimulai.
Tiga tahun kemudian ia dikirim ke negeri Belanda untuk memperdalam pengetahuan di bidang agama Kristen, bahasa latin, bahasa Yunani dan filsafat dan pulang dengan nama baru: Frater Soegijapranata.
Sekembalinya ke tanah air, Soegijapranata , bekerja sebagai guru Ilmu Pasti, bahasa Jawa dan agama di bagian Sekolah Guru pada kolese di Muntilan.
Di samping mengajar, kesehariannya diisi pula dengan mengampu media cetak berbahasa Jawa, Swara Tama.
Melalui surat kabar mingguan tersebut, ia banyak menulis tentang tari Jawa, pakaian adat Jawa, hubungan budaya Barat dan Timur, dan lain lain.
Di tahun 1928 Soegijapranata memperoleh kesempatan sekali lagi untuk mengikuti pelajaran teologi di negeri Belanda.
Ia juga mewakili frater-frater Indonesia menghadiri perayaan kepausan di Roma, Italia dan ditasbihkan sebagai imam pada tahun 1931.
Dua tahun di negeri orang, ia kembali ke Hindia Belanda dan diangkat menjadi Pastor Pembantu di Bintaran, kemudian menjadi Pastor Paroki.
Pada 1938 ia diangkat menjadi penasihat Misi Jesus di pulau Jawa, lalu 1940 naik jabatan menjadi Vikaris Apostolik untuk memangku jabatan keuskupan.
Perjuangan Sugiyapranata
Pada masa pendudukan Jepang, ia menghadapi masa sulit. Berkuasanya orang-orang Nippon ini mengubah kebijakan baru di tanah air, salah satunya mengubah cara pengadaan misa.Penggunaan bahasa Belanda dilarang, baik yang dilafalkan maupun yang ditulis, dan sejumlah bangunan milik Gereja disita.
Ia menjadi pembela orang-orang Kristen dengan cara diplomasi. Kedudukannya sebagai uskup agung membuat pemerintah Jepang masih menghargainya, meskipun begitu usaha pun tidak selalu berhasil.
Soegijapranata kerap mengadakan pertemuan untuk membahas perlunya hierarki Katolik Roma di Indonesia hingga pada tahun 1959 Kardinal Grégoire-Pierre Agagianian mengunjungi Indonesia untuk memeriksa persiapan Gereja.
Pada bulan Mei 1960, Konferensi Wakil Gereja Indonesia (KWI) secara resmi mengajukan surat permohonan untuk dibentuknya Gereja Katolik Indonesia.
Di wilayah nusantara, kemudian dibentuk enam provinsi gerejawi, yaitu dua di pulau Jawa, satu di Sumatra, satu di Flores, satu di Sulawesi dan Maluku, dan satu di Kalimantan.
Soegijapranata sendiri menjadi uskup agung di wilayah Semarang, ia diangkat pada tanggal 3 Januari 1961.
Setelah itu Soegijapranata sering bolak-balik Indonesia Eropa dalam urusan kegerejaan. Dalam Konsili Vatikan II, ia termasuk dalam salah satu dari enam uskup dan uskup agung dari Asia.
Sepulangnya ke tanah air kondisi kesehatannya mulai menurun dan sempat dirawat di Rumah Sakit Elisabeth Candi.
Pada tanggal 30 Mei 1963, ia memutuskan berangkat ke Eropa untuk menghadiri pemilihan Paus Paulus VI.
Di sana, kondisi kesehatannya kembali menurun sehingga mengharuskannya menginap di Canisius Hospital Belanda sekitar sebulan.
Namun, perawatan ini tidak berhasil, Soegijapranata meninggal pada tanggal 22 Juli 1963 di sebuah susteran di Steyl Belanda karena serangan jantung.
Jenazah Soegijapranata diterbangkan ke Indonesia dan dikebumikan di Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.
Dalam upacara pemakamannya ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 26 Juli 1963. Di tahun 2012, kisah perjalanan uskup ini kemudian diabadikan dalam film berjudul “Soegija” produksi Studio Audio-Visual Puskat Yogyakarta.
Referensi:
Kuncoro Hadi & Sustianingsih. 2015. Ensiklopedia Pahlawan Nasional. Yogyakarta: Istana Media
(disadur oleh penainfocom)
Join the conversation