Perjuangan Kiai Haji Zainul Arifin

Biografi Kiai Haji Zainul Arifin

Biografi Kiai Haji Zainul Arifin
Lahir Barus, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, 2 September 1909
Meninggal Jakarta, 2 Maret 1963
Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Dasar Penetapan Keppres No. 35 Tahun 1963
Tanggal Penetapan 4 Maret 1963

Dari Gemeente hingga Ketua DPRGR

Ia saat itu telah menjadi ketua DPR Gotong Royong [DPRGR]. Akan tetapi, suhu politik yang panas harus membuatnya berkorban nyawa.

Pada 14 Mei 1962, ia berada dalam saf paling depan bersama presiden saat salat Idul Adha. Saat itulah tiba-tiba seorang yang dianggap bagian gerakan DI/TII menembakkan pistol ke depan.

Sebuah percobaan pembunuhan terhadap presiden tengah dilakukan, tetapi peluru justru mengarah pada Zainul. Ia tertembak di bagian bahu dan hampir sepuluh bulan berselang, ia meninggal dunia.

Masa Muda Zainul Arifin

Zainul Arifin adalah anak tunggal keturunan raja Barus, Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan dengan perempuan bangsawan asal Kotanopan, Mandailing, Siti Baiyah boru Nasution.

Ia menyelesaikan HIS [Hollands Indische School] dan Normal School, sekolah guru, di Jambi. Ia juga belajar agama di Madrasah dan berlatih pencak silat.

Saat usia 16 tahun, ia merantau ke Batavia. Di kota ini, ia bekerja sebagai pegawai Gemeente [pegawai Kotapraja].

Ia hanya bertahan lima tahun, setelahnya ia aktif sebagai guru di Meester Cornelis [Jatinegara], mendirikan kelompok sandiwara musikal tradisional Betawi Tonil Zainul dan giat pula dalam gerakan pemuda Ansor hingga menjadi pengurus NU [Nahdatul Ulama] hingga datangnya Jepang pada 1942.

Kisah Perjuangan Kiai Haji Zainul Arifin

Perjuangan Zainul Arifin

Pemerintah Pendudukan Jepang melarang partai-partai politik berdiri. NU tidak luput dari larangan ini.

Jepang lalu mengizinkan berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia [Masyumi] sebagai satu-satunya wadah bagi umat Islam. Zainul memasuki organisasi ini dan diangkat sebagai Kepala Bagian Umum.

Di masa ini pula ia mengikuti latihan militer selama dua bulan, kemudian diangkat menjadi Panglima Hizbullah, sebuah organisasi semi militer yang anggota-anggotanya terdiri atas pemuda-pemuda Islam.

Selepas Proklamasi Kemerdekaan, ia tetap duduk dalam Pucuk Pimpinan Hizbullah. Laskar ini kemudian digabungkan ke dalam Tentara Nasional Indonesia [TNI].

Setelah penggabungan ini, ia diangkat sebagai sekretaris Pucuk Pimpinan TNI. Selain itu, ia duduk pula sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat [BK KNIP].

Sesudah Pengakuan Kedaulatan, ia diangkat menjadi anggota DPRS [Dewan Perwakilan Rakyat Sementara] dari tahun 1950-1953.

Ia juga pernah duduk sebagai Wakil II Perdana Menteri. Selepas pembubaran dewan Konstituante selepas dekrit presiden 5 Juli 1959 dan terbentuk DPRGR [DPR Gotong Royong], Zainul diangkat menjadi Ketuanya.

Ia terus berkiprah dalam lembaga eksekutif ini hingga akhirnya ia tertembak tepat dihari Idul Adha. Zainul tidak mampu bertahan hingga ia mengembuskan napas terakhirnya dalam usia 53 tahun.

Jenazahnya segera dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Pemerintah Indonesia kemudian memberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional tepat dua hari selepas kepergiannya.

Referensi: 
Kuncoro Hadi & Sustianingsih. 2015. Ensiklopedia Pahlawan Nasional. Yogyakarta: Istana Media

(disadur oleh penainfocom)